Selasa, 12 Oktober 2010

MEMPERKUAT NILAI-NILAI “PENDIDIKAN”

A. Pengantar
            Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) sebagai salah satu bidang kajian yang otonom, hingga saat ini masih mengundang sejumlah diskusi yang cukup menarik di kalangan ilmuwan sosial khususnya. Sentral diskusi tidak  saja bergerak secara horizontal, namun juga vertikal. Hal ini membuktikan bahwa masalah otonomi PIPS masih perlu dipertegas lagi, sehingga tidak menimbulkan keragaman opini dan konsepsi khususnya di kalangan ilmuwan sosial.
            Sebagai disiplin yag bersifat shynthetic, maka PIPS harus mampu memerankan dirinya sebagai media pembangunan dan pembentukan peserta didik sebagai warga negara yang baik dan berkualitas. Kondisi ini semakin penting artinya, mengingat saat ini tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang bisa melepaskan diri dari pengaruh dan nafas kemajuan global. Berkait dengan hal tersebut, maka pengkajian dan penemuan berbagai generalisasi yang melekat pada disiplin tersebut terus dilakukan oleh berbagai kalangan. Upaya ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan jati diri dari PIPS itu sendiri. Berkenaan dengan wacana di atas, maka dalam tulisan singkat ini, penulis akan membedah kaitan logis antara PIPS dengan disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu pendidikan-humaniora, kemajuan teknologi, dan konsepsi knowledge as power serta academic as power dalam tatarann kehidupan masyarakat global. Di samping itu, pembahasan juga akan dilengkapi dengan pengkajian terhadap Project 2006+ dalam hubungannya dengan memperkuat nilai-nilai pendidikan dalam PIPS.







B. Pembahasan

            1. Konsepsi Pendidikan IPS (PIPS)
            Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) mengandung dua unsur atau konsep yang saling berkait, yaitu pendidikan dan ilmu pengetahuan sosial. Untuk bisa memahami secara tuntas konsepsi PIPS, maka kita harus membedah terlebih dahulu kedua konsepsi tersebut agar ada kesamaan pandangan dan pengertian dalam pembahasan selanjutnya. Pendidikan secara harpiah mengandung dua pengertian, yaitu pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu dan pendidikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh negara, masyarakat, keluarga, atau individu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, pendidikan mempelajari apa yang terjadi dalam upaya manusia melakukan pendidikan. Tujuan mempelajari apa yang dilakukan manusia itu merupakan usaha penemuan kebenaran yang diformulasikan dalam bentuk prinsip, generalisasi, teori, atau hukum/dalil. Semua hal tersebut digunakan oleh kalangan pakar pendidikan untuk memahami fenomena pendidikan pendidikan yang terjadi sebagai implikasi yang ditimbulkan oleh pendidikan itu sendiri.
            Pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh negara atau masyarakat-keluarga, dan individu adalah sebuah usaha sadar yang dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki dan memudahkan hidup manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, maka konsepsi pendidikan yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada pengertian yang diformulasikan dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 yaitu: usada sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Hal ini merupakan pengertian resmi pendidikan yang dianut dan digunakan oleh negara Indonesia dalam melakukan pendidikannya.
            Berdasarkan konsepsi tersebut, maka ada lima poin yang perlu mendapat perhatian, yaitu pendidikan sebagai : (1) usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik, (2) kegiatan bimbingan, (3) kegiatan pengajaran, (4) kegiatan pelatihan, dan (5) peran peserta didik. Namun perlu diingat, bahwa usaha pendidikan tidak harus mendasarkan diri pada satu konsepsi atau teori, namun hendaknya menggunakan beberapa pandangan atau teori, sehingga akan terformulasi konstruk pendidikan yang mapan dan representatif. Sementara IPS secara konseptual dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang materinya mengambil dari cabang-cabang ilmu sosial dan humaniora, sehingga batasan diantara disiplin tersebut semakin kabur, dan terintegrasi dalam format IPS itu sendiri (NCSS, 2000). Sementara ilmu-ilmu sosial sebagai sumber rujukan IPS adalah studi tentang tingkah laku manusia atau kelompok umat manusia (Martorella, 1994). Artinya, disiplin ilmu yang mengkaji perilaku umat manusia atau kelompok manusia dalam masyarakat dikatagorikan sebagai ilmu sosial. Berdasarkan beberapa konsepsi di atas, maka yang dimaksud dengan pendidikan IPS adalah pendidikan mengenai ilmu-ilmu sosial yang diarahkan pada terjadinya pemahaman yang komprehensif pada peserta didik terhadap diri dan lingkungan masyarakatnya.
            2. Pendidikan IPS, Disiplin Ilmu-ilmu Sosial, dan Kemajuan IPTEK
            PIPS sebagai synthetic dicipline memiliki kaitan logis dan kausal dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, karena secara substansial materi PIPS digali dan distrukturisasi dari materi ilmu-ilmu sosial dan humanira. Adapun disiplin ilmu sosial yang banyak kontribusinya terhadap PIPS antara lain: sejarah, geografi, ekonomi, antropologi, sosiologi, politik, hukum, dan tata negara. Sementara disiplin humaniora yang banyak berkaitan dengan PIPS adalah psikologi, bahasa, seni, dan agama. Keseluruhan disiplin tersebut, secara kontinyu memiliki peran yang sangat penting namun berbeda dalam kaitannya dengan eksistensi PIPS itu sendiri.
            Kemajuan ilmu dan teknologi (IPTEK) telah menghadirkan warna tersendiri pada esensi dan substansi PIPS sebagai disiplin keilmuan. Hal ini semakin dipertegas dengan munculnya konsep "knowledge as power" yang dikumandangkan oleh kalangan negara-negara maju untuk menjustifikasi eksistensi dan perluasan idiologinya. Kondisi ini menjadikan tumbuh dan berkembangnya budaya materiil yang berlebihan, dimana hal tersebut kadangkala tidak dilandasi oleh nilai atau etika kemanusiaan, sehingga semakin mempertajam krisis moral-akademik di kalangan ilmuwan negara-negara barat. Di sisi lain, ada upaya dari kalangan pakar pendidikan dan politisi negara-negara sedang berkembang untuk mengimbangi kondisi tersebut dengan menjustifikasi "education as a power", yang penekanannya pada terjadinya equilibrium antara kemajuan IPTEK dengan landasan moral serta keagamaan. Upaya ini melahirkan budaya imateriil di ka;langan masyarakat dunia. Kontradiksi ini menjadikan eksistensi PIPS sebagai media pengembangan dan pelatihan peserta didik sebagai warga negara yang baik semakin berat dan kompleks.
            3. Pendidikan IPS dan Pembangunan Warga Negara
            PIPS pertama kali diperkenalkan dalam kurikulum nasional 1975, sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah. Sebelumnya, memang telah dikenal beberapa mata pelajaran lain yang termasuk dalam disiplin ilmu sosial, seperti pendidikan budi pekerti dan pendidikan kewarganegaraan. Namun penggunaan istilah IPS baru muncul pada tahun 1975. Materi yang terakumulasi dalam IPS untuk jenjang SD meliputi pengetahuan sosial dan sejarah. Sementara untuk SLTP meliputi materi tentang ekonomi, sejarah, geografi. Sedangkan untuk SMU meliputi, sejarah, geografi, dan ekonomi dengan segala pengembangannya. Melalui kurikulum 1984, untuk jenjang SMU ditambah lagi dengan mata pelajaran sosiologi-antropologi.
            Pada kurikulum 1994, Pendidikan IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib di ajarkan secara formal mulai dari kelas III SD sampai kelas III SMU. Pembelajaran Pendidikan IPS dewasa ini dihadapkan pada tantangan untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu memerankan diri dalam kehidupan dunia modern. Melalui Pendidikan IPS diharapkan lahir manusia-manusia Indonesia yang mempunyai jiwa dan semangat yang tangguh dalam mendukung dan melaksanakan pembangunan nasional sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan tujuan Pendidikan IPS di tingkat pendidikan, yaitu untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang berguna bagi diri peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.       
Melalui Pendidikan IPS diharapkan mampu dikembangkan sikap, nilai, moral dan seperangkat keterampilan hidup bermasyarakat dalam rangka mempersiapkan warga negara yang baik dan mampu bermasyarakat. Memperhatikan tujuan dan esensi Pendidikan IPS, seyogyanya penyelenggaraan pembelajaran Pendidikan IPS mampu mempersiapkan, membina, dan membentuk kemampuan peserta didik yang menguasai pengetahuan, sikap, nilai, dan kecakapan dasar yang diperlukan bagi kehidupannya di masyarakat (Sumantri, 1996). Untuk menunjang tercapainya tujuan Pendidikan IPS seperti di atas, harus didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif. Iklim pembelajaran yang dikembangkan oleh guru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dan kegairahan belajar siswa (Azis Wahab; 1986), selanjutnya dikatakan pula, bahwa kualitas dan keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih dan menggunakan metoda pembelajaran.
            Berdasarkan analisis konseptual dan kondisi Pendidikan IPS di sekolah, ternyata masih banyak guru yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam memilih dan menggunakan berbagai metoda pembelajaran yang mampu mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi siswa untuk belajar, dan  banyak diantara guru yang tidak memiliki kurikulum tertulis yang merupakan pedoman dasar dalam pemilihan metoda pembelajaran (Hamid Hasan; 1988). Disamping itu tidak sedikit siswa kesulitan dalam mengikuti pelajaran dikarenakan metoda pembelajaran yang dipilih dan digunakan oleh guru dirasakan kurang tepat. Dengan demikian proses belajar-mengajar akan berlangsung secara kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan pengetahuan, sikap, moral dan keterampilan siswa.
            Pemilihan model dan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru (Lasmawan, 2001). Hal ini didasari oleh asumsi bahwa ketepatan guru dalam memilih model dan metoda pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar siswa. Karena model dan metoda pembelajaran yang digunakan oleh guru berpengaruh terhadap kualitas proses belajar mengajar yang dilakukannya.
Kondisi proses belajar mengajar di lingkungan sekolah dewasa ini masih diwarnai oleh penekanan pada aspek pengetahuan dan masih sedikit yang mengacu pada pelibatan siswa dalam proses belajar itu sendiri. Pendidikan IPS yang dilakukan oleh guru belum mampu menumbuhkan budaya belajar siswa. Hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap perolehan dan hasil belajar siswa. Melihat permasalahan tersebut, maka isu yang sering di angkat oleh mass media cetak maupun elektronik tentang rendahnya mutu pendidikan kita dewasa ini secara kualitatif di duga disebabkan karena model pembelajaran yang di anut oleh guru di dasarkan atas asumsi tersembunyi bahwa Pendidikan IPS adalah suatu pengetahuan yang bisa dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.
            Atas dasar asumsi di atas, mungkin guru sudah merasa mengajar dengan baik, tetapi siswanya tidak belajar, sehingga terjadi miskonseptual antara pemahaman guru dalam mengajar dengan target dan misi dari Pendidikan IPS sebagai mata pelajaran yang mengacu pada pembekalan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa sebagai bekal dalam menjalani kehidupan bermasyarakat (Sumantri; 1996). Kondisi ini di dukung oleh kenyataan yang ada di lapangan bahwa aspek metodologis dan pendekatan ekspositorik sangat menguasai seluruh proses belajar mengajar (Sumantri, 1996). Berkaitan dengan hal tersebut, Suwarma (1991), menyatakan bahwa Pendidikan IPS belum mampu menumbuhkan iklim yang menantang siswa untuk belajar dan tidak mendukung produktivitas serta pengembangan berpikir peserta didik.           
4. Hubungan PIPS dengan Project 2061+ (Integrated Knowledge System)
            Rasional dari Project 2061 yang pertama kalinya disponsori oleh National Council of the Social Studies, adalah bahwa dinamisasi masyarakat yang begitu cepat dan didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah menghadirkan berbagai masalah sosial yang begitu kompleks dan beragam bagi kehidupan masyarakat, sehingga menggangu aktivitas dan kreativitas manusia sebagai penghuninya. Awalnya, masalah tersebut masih bisa dipecahkan atau dihampiri dengan satu disiplin keilmuan saja, namun dewasa ini, tidak ada satu disiplin ilmupun yang dapat memecahkan masalah tersebut secara mandiri, sehingga memerlukan bantuan atau menggunakan teori disiplin lainnya yang terkait. Hal ini sejalan dengan apa yang direkomendasikan oleh NCSS (2001), bahwa tidak ada satu disiplin ilmupun yang mampu menjadi “raja” dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan kerjasama yang produktif dari berbagai disiplin, sehingga penghampiran terhadap masalah tersebut menjadi lebih mudah dan terselesaikan secara lebih komprehensif.
            Tujuan dari Project 2061+ pada dasarnya adalah menjalin kolaborasi-produktif antara berbagai disiplin ilmu baik IPA maupun IPS dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai implikasi dari kemajuan IPTEK (NCSS, 2001). Di samping itu, integrated knowledge system yang menjadi inti dari project 2061+ ini juga dimaksudkan secara otomatis menguji kehandalam dan penemuan jati diri setiap disiplin keilmuan dalam aplikasinya di masyarakat, termasuk pendidikan IPS. Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan integrated knowledge system ini, yaitu secara cross-dicipline, trans-dicipline, dan antar-disiplin (NCSS, 2001). Ketiga cara tersebut memiliki prosedur dan implikasi yang sangat berbeda, namun sama dalam tujuannya yaitu ketuntasan penyelesaian masalah yang ada di masyarakat.
            Jika dikaji rasional, tujuan, dan metode dari integrated knowledge system (IKS) dalam Project 2061+ ini, maka kaitan logisnya dengan pendidikan IPS (PIPS) dalam kapasitasnya sebagai salah satu bidang kajian disiplin ilmu, maka proyek tersebut akan mewarnai esensi dan substansi dari PIPS itu sendiri. Cara penelaahan dari PIPS akan meluas, dimana tidak lagi semata-mata mengandalkan atau memformulasikan berbagai teori dari disiplin ilmu-ilmu sosial, namun juga mengaplikasikan berbagai teori atau materi dari disiplin ilmu-ilmu eksakta.
            Dilihat dari struktur ide sentral yang mendasari PIPS, maka melalui proyek ini akan terjadi perubahan yang sangat mendasar pada PIPS. Dimana proyek tersebut akan memperluas dan memperdalam konseptualisasi dan aktualisasi ide sentral yang selama ini dikembangkan dalam PIPS, khususnya berkait dengan pembentukan dan pelatihan peserta didik menjadi warga negara yang sociotable. Dilihat dari metode dan tehnik penghampiran masalahnya, melalui proyek 2061+ ini akan menyebabkan terjadinya pengayaan dan penggabungan beberapa metode atau tehnik yang selama ini telah digunakan dalam membelajarkan atau mengaplikasikan PIPS dalam konteks instruksional. Implikasi dari hal ini adalah kebermaknaan dari pembelajaran PIPS akan lebih baik, khususnya bagi peserta didik dalam kapasitasnya sebagai warga negara. Mereka akan dapat kesempatan mengembangkan dan melatihkan kemampuan dan keterampilannya secara lebih optimal melalui pengayaan metode dan tehnik sebagai impuls dari proyek 2061+ tersebut. Berdasarkan kajian dan analisis di atas, maka dapat disimpulkan hubungan Proyek 2061+ (integrated knowledge system) dengan PIPS adalah bersifat “fungsional”. Artinya proyek tersebut memberikan warna dan corak yang lebih luas terhadap PIPS, baik dalam pengembangan keilmuannya (materi) maupun dalam aplikasi instruksionalnya (pembelajaran). Disamping itu, proyek ini telah memperkaya materi dan pendekatan-metode-tehnik PIPS dalam kapasitasnya sebagai salah satu bidang kajian ilmiah dalam tataran disiplin ilmu-ilmu sosial.

STRATEGI PENINGKATAN KUALIFIKASI – MUTU

Bagian Satu: Pengantar
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan.
Pada era sekarang, yang sering disebut era globalisasi, institusi pendidikan formal mengemban tugas penting untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia berkualitas di masa depan. Di lingkungan pendidikan persekolahan (education as schooling) ini, guru profesional memegang kunci utama bagi peningkatan mutu SDM masa depan itu. Guru merupakan tenaga profesional yang melakukan tugas pokok dan fungsi meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik sebagai aset manusia Indonesia masa depan.
Pemerintah tidak pernah berhenti berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan kesejahteraan guru. Pemerintah telah melakukan langkah-langkah strategis dalam kerangka peningkatan kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, serta perlindungan hukum dan perlindungan profesi bagi mereka. Langkah-langkah strategis ini perlu diambil, karena apresiasi tinggi suatu bangsa terhadap guru sebagai penyandang profesi yang bermartabat merupakan pencerminan sekaligus sebagai salah satu ukuran martabat suatu bangsa.
Hingga saat ini secara kuantitatif populasi guru di Indonesia sangat besar. Secara nasional masih banyak guru yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi akademik. Data tahun 2008 jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1/DIV sebanyak 1.656.548. Untuk mempercepat seluruh guru memenuhi persyaratan kualifikasi pendidikan yang diharapkan tuntas pada tahun 2015 sesuai dengan amanat UU Nomor 14 Tahun 2005, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 2006 memberikan subsidi peningkatan kualifikasi guru pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang sedang dan akan menempuh pendidikan jenjang S1/D-IV,baik guru PNS maupun guru bukan PNS. Sejalan dengan itu, pelaksanaan sertifikasi guru yang telah dimulai sejak tahun 2007 akan terus dilakukan, sehinggan diharapkan guru-guru yang ada dan telah memenuhi persyaratan dapat memperoleh sertifikat sesuai dengan kriteria dan rentang waktu yang ditetapkan dalam undang-undang.

Bagian Dua: Membangun Profesi Guru
Saat ini telah muncul komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia, terutama Depdiknas, untuk merevitalisasi kinerja guru antara lain dengan memperketat persyaratan bagi siapa saja yang ingin meniti karir profesi di bidang keguruan. Dengan persyaratan minimum kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005, diharapkan guru benar-benar memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, dimana hal itu diharapkan dapat diperoleh secara penuh melalui pendidikan profesi. Ke depan, agaknya peluang orang-orang yang berminat untuk menjadi guru cukup terbuka lebar. Dalam PP No. 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa seseorang yang tidak memiliki ijazah S1, D-IV, atau sertifikat profesi akan tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi guru pada TK/RA/BA sampai dengan SMA atau bentuk lain yang sederajat, setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan dengan rambu-rambu tertentu.
Tentu saja masalah pengelolaan guru akan selalu muncul dengan kadar yang beragam pada masing-masing daerah. Hingga kini, beberapa masalah di bidang ini menyangkut jumlah, mutu, penyebaran, kesejahteraan, perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan ketenagakerjaan, dan manajemen. Setidaknya sebagian di antara permasalahan manajemen guru tersebut agaknya akan dapat dipecahkan, jika semua pihah memiliki komitmen, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 2005. Berkaitan dengan manajemen guru, perlu perhatian khusus untuk beberapa hal yang sangat esensial, seperti termuat dalam UU Nomor 14 Tahun 2005. Pertama, pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru PNS, baik jumlah, kualifikasi, kompetensi maupun pemerataannya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan. Kedua, pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru PNS, baik jumlah, kualifikasi, kompetensi maupun pemerataannya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah negeri dan pendidikan khusus negeri sesuai dengan SNP di wilayah kewenangannya masing-masing. Ketiga, pemerintah Kabupaten/Kota wajib memenuhi kebutuhan guru PNS, baik jumlah, kualifikasi, kompetensi maupun pemerataannya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar negeri dan pendidikan anak usia dini jalur formal sesuai dengan SNP di wilayah kewenangannya masing-masing. Keempat, penyelenggara satuan pendidikan atau satuan pendidikan dasar, menengah, atau anak usia dini jalur formal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru tetap, baik jumlah, kualifikasi, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan formal sesuai dengan SNP. Jika hal ini diikuti secara konsisten oleh pihak-pihak yang tergamit, masalah manajemen guru akan dapat dipecahkan. Tentu saja hal itu harus ditunjang oleh sistem pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara obyektif dan transparan.

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

Bagian Satu:
Inovasi pendidikan yang saat ini tengah dilaksanakan oleh pemerintah telah menghadirkan sejumlah tantangan sekaligus peluang bagi kalangan praktisi pendidikan, mulai dari guru sekolah dasar, guru SMP, dan guru SMA/SMK. Tantangan yang dimaksud lebih bertalian dengan kemampuan dan keterampilan instruksional yang diprasyaratkan oleh pemberlakuan aturan dimaksud. Sementara peluang yang ditimbulkan oleh aturan tersebut lebih terkait dengan “kebebasan guru berkreasi dan berinovasi” serta “peningkatan pendapatan” secara personal yang akan melekat pada seorang guru setelah dinyatakan “lulus sertifikasi”. Program sertifikasi yang telah menjadi “kebijakan tetap” dari pemerintah sebagai implikasi dari pemberlakuan UU Guru dan Dosen merupakan “tahapan” yang mau tidak mau harus dilalui oleh seorang guru bila mereka ingin “eksis dan memperleh pendapatan yang layak” sebagai tenaga yang professional.
Dilihat dari aspek historis-philosofis dan substansi profesi, guru memegang peranan yang amat strategis terutama berkaitan dengan building moral nation and cultur heritages transpormation melalui pengembangan personality and values otonom warga negara yang di cita-citakan. Dimensi ini mengindikasikan bahwa peran guru sulit digantikan oleh yang lain. Dalam perspektif pembelajaran, peranan guru dalam masyarakat kita (Indonesia) tetap dominan sekalipun teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran berkembang sangat cepat. Konsepsi kausalitas ini dipengaruhi oleh adanya dimensi-dimensi proses pendidikan (pembelajaran) yang diperankan oleh guru yang tidak seluruhnya dapat digantikan oleh teknologi.
Satu diantara sekian banyak inovasi dalam bidang pendidikan secara makro yang saat ini tengah menjadi “konsumsi media dan obrolan pelaku pendidikan” adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaarn serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian  dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL) dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah. Dilihat dari prinsip dasar yang melandasi pengembangannya, dapat disimpulkan bahwa KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
*      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
*      Beragam dan terpadu
*      Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
*      Relevan dengan kebutuhan kehidupan
*      Menyeluruh dan berkesinambungan
*      Belajar sepanjang hayat
*      Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Selain prinsip di atas, dalam penyusunan KTSP harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
*      Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
*      Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
*      Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
*      Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
*      Tuntutan dunia kerja
*      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
*      Agama
*      Dinamika perkembangan global
*      Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
*      Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
*      Kesetaraan Jender
*      Karakteristik satuan pendidikan
KTSP dalam penyusunannya harus memperhatikan beberapa komponen dasar standar yang disesuaikan dengan karakteristik satuan pendidikan dan potensi daerahnya. Secara umum, komponen-komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan, yaitu: (1) tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, (2) tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, dan (3) tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Kedua, Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam standar isi (SI) meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut.
*      Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia 
*      Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
*      Kelompok mata pelajaran  ilmu pengetahuan dan teknologi
*      Kelompok mata pelajaran estetika
*      Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/2005 Pasal 7. Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/ SMALB /SMK/MAK kategori standar. Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/ MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar. Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh MA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri.
Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Pengaturan  alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat pada semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran dapat dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi, di samping dimanfaatkan untuk mata pelajaran lain yang dianggap penting dan tidak terdapat di dalam struktur kurikulum yang tercantum di dalam Standar Isi.
Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% - 40%, SMP/MTs/SMPLB 0% - 50% dan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0% -  60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertim-bangkan potensi dan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut.
*      Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.   
*      Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.  
Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Kriteria kenaikan kelas diatur oleh masing-masing direktorat teknis terkait. Sesuai dengan ketentuan PP 19/2005 Pasal 72 Ayat (1), peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
*      menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
*      memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;
*      lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
*      lulus Ujian Nasional. 
Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/MAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional. Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian integral dari pendidikan semua mata pelajaran dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan secara khusus. Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam  aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran dan juga dapat menjadi mata pelajaran muatan lokal. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana yang dimuat dalam Standar Isi.

Senin, 11 Oktober 2010

Pendidikan Multikultur dalam IPS

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) telah menghadirkan tantangan dan sekaligus peluang baru bagi umat manusia dalam segala dimensi kehidupannya. Kondisi ini semakin diperkuat oleh semakin menggejalanya warna kehidupan global, sehingga setiap manusia dan bangsa harus selalu siap untuk melakoni kehidupan global yang tanpa batas. Globalisasi merupakan implikasi logis dari kemajuan IPTEKS. Terkait dengan hal itu, maka untuk mampu melakoni kehidupan masyarakat global, setiap masyarakat bangsa dituntut untuk selalu siap untuk berkompetisi agar bisa eksis dalam konstalasi kehidupan yang serba dinamis.  
            Globalisasi juga telah menghadirkan jiwa dan semangat nasionalisme baru di kalangan bangsa-bangsa dunia. Revolusi informasi dan komunikasi sebagai dampak langsung dari kemajuan IPTEKS telah menghilangkan batasan-batasan regon dan kewilayahan, sehingga bagi masyarakat tertentu, kondisi ini harus disikapi dengan cepat dan komprehensif sehingga mereka tidak kehilangan jati diri bangsa dan negaranya (Schement, 2002; Jannes, 2001). Bagi bangsa Indonesia, kondisi tersebut tentu merupakan realitas yang harus disikapi secara seksama dan sesegera mungkin, mengingat karakteristik geografis dan sosial-budaya yang sangat beragam. Tanpa pengaruh globalisasipun, bangsa Indonesia telah sering mengalami “perbedaan pemahaman” akan pluralitas yang ada, sehingga mengancam eksistensi negara kesatuan (Schement, 2002). Keberagaman suku, agama, etnis, dan bahasa telah menjadi warna abadi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap keragaman oleh setiap masyarakat merupakan sebuah kewajiban.
            Keberagaman budaya, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa  Indonesia dapat menjadi modal dasar dalam membangun jiwa nasionalisme dan patriotisme sebagai bangsa yang besar dan kokoh. Namun bila pemahaman terhadap keragaman tersebut hanya bersifat normalis, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu timbulnya konflik, yang akhirnya akan memecahbelah kesatuan dan persatuan bangsa. Salah satu konsep yang dapat diterapkan oleh negara multikultur seperti Indonesia adalah multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan institusionalisasi dan keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu di dalam suatu nation state (bahasa, bidang-bidang atau sistem hukum, kebijakan pemerintah dalam bidang  kesehatan dan perumahan, pendidikan, dan bidang lainnya (Tilaar, 2004:84). Multikulturalisme merupakan paham yang mengakui perbedaan dan keberagaman dalam suatu bingkai kebersamaan dan kesederajatan. Demokrasi merupakan salah satu komponen yang menjamin bangunan multikulturalisme.
Dalam multikulturalisme sebuah masyarakat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dimana coraknya seperti sebuah mosaik (Suparlan, 2002:2). Di dalam mosaik tercakup juga kebudayaan dan masyarakat-masyarakat yang lebih kecil, yang nantinya akan mendorong terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut. Model multikulturalisme telah banyak digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan ”kebudayaan bangsa”, sebagaimana yang terungkap dalam Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Negara multikultural seperti Indonesia harus antisipatif dan responsif terhadap fenomena heterogenitas kebudayaan dengan sikap arif dan bijak. Perbedaan yang selama ada disatu sisi telah menimbulkan dampak negatif berupa konflik yang melanda negeri ini, yang salah satunya disebabkan heterogenitas atau deferensiasi sosial dari masyarakat. Misalnya, konflik antar suku Madura dan Dayak di Sambas Kalimantan Tengah, konflik dengan isu agama di Poso dan Maluku, gerakan separatis Aceh yang salah satunya dipicu oleh pengetahuan perbedaan yang kurang adil (Fadjar, 2004). Multikulturalisme mengakui adanya perbedaan dalam masyarakat, dimana perbedaan tersebut bukan sekedar perbedaan deskriptif tetapi juga perbedaan normatif. Maksudnya, perbedaan yang ada bukan sekedar diketahui, tetapi harus disadari dalam kehidupan yang egaliter dan demokratis. Tanpa kesadaran terhadap multikulturalisme, niscaya nasionalisme yang selama ini dibangun, akan tercabik-cabik oleh konflik dan gerakan separatisme.
Salah satu media yang bermakna bagi pengembangan kesadaran akan multikulturalisme adalah pendidika IPS. Pendidikan IPS merupakan sarana efektif untuk menanamkan kesadaran multikultural, karena salah satu misi pendidikan IPS pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah: membekali peserta didik dengan seperangkat pengetahuan, sikap, nilai, dan moral serta keterampilan hidup yang berguna dalam memahami diri dan lingkungan bangsa serta negaranya (Hasan, 2005). Lingkungan yang dimaksud dalam konteks ini salah satunya adalah keberagaman suku, agama, ras, etnis, dan bahasa yang ada di negara Indonesia. Pendidikan yang selama ini ditanamkan dalam kurikulum pendidikan  dasar hingga perguruan tinggi telah menjelaskan konsep keberagaman tersebut. Namun, implementasi pendidikan IPS selama ini belum optimal dalam menekankan pendidikan tentang keberagaman yang bersifat normatif.
Pengalaman Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman orde baru, pengajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) pada pendidikan dasar dan menengah, mata kuliah Kewiraan yang sarat dengan indoktrinasi di perguruan tinggi pada dasarnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan nasionalisme, kesadaran persatuan dan integritas kebangsaan. Namun faktanya, pemahaman terhadap multikultur kebangsaan oleh masyarakat belum berhasil mencapai sentuhan kesadaran yang utuh, terbukti masih adanya gerakan anti multikultural, seperti gerakan sparatis dan konflik yang berbau sara. 
Keberadaan mata pelajaran PKn juga belum cukup untuk menanamkan kesadaran multikulturalisme. Bahkan, pendidikan IPS yang selama ini ditanamkan pada anak didik masih banyak mengandung unsur yang menghambat kesadaran multikultural. Hal ini seperti yang disampaikan Asyar’i (Kompas, 3 September 2004) bahwa: pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan IPS yang diberikan di sekolah pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung kontraproduktif. Kondisi ini sama gejalanya dengan pendidikan agama, bahwa konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik”.  Sementara Tilaar (2004:107) menyatakan bahwa banyak konflik antar suku dan etnis yang terjadi di beberapa daerah distimuli oleh belum mapannya pemahaman masyarakat terhadap multikulturalis kebangsaan, sehingga upaya penanaman dan internalisasi keberagaman kultur bagi masyarakat merupakan sebuah keharusan agar bangsa ini tetap kokoh berdiri.
Penyikapan terhadap multikulturalisme memerlukan jiwa dan sikap yang hati-hati dan toleransi tinggi, sebab multikulturalisme dapat berkembang negatif ke arah hiper-multikulturalisme dan cauvinisme seperti menganggap budaya sendiri yang paling baik, pertentangan antara budaya barat dengan timur, upaya mencari-cari nilai asli atau ”indegenous culture” seperti misalnya penguasa orde baru yang banyak menggunakan bahasa Kawi dalam memberikan nama-nama gedung DPR yang sulit dimengerti oleh orang biasa. Contoh, hiper-multikulturaslisme yang lain adalah munculnya anggapan bahwa hanya penduduk asli yang dapat berbicara mengenai budayanya sendiri (Tilaar, 2004). Kondisi ini akan menjadi pemicu ”runtuhnya jiwa dan semangat kebangsaan”, yang mengancam stabilitas dan integritas nasional. Untuk itu, diperlukan upaya yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kesadaran (literasi) akan multikulturalisme, khususnya melalui jalur pendidikan. Selama ini, pendidikan akan keberagaman baru dijadikan sebagai salah satu bagian materi pada sub pokok bahasan di beberapa mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti pada mata pelajaran IPS, Agama, dan PKn. Belum ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan multikulturalisme, maka kedepan diperlukan sebuah model pendidikan multikultur yang terintegrasi pada mata pelajaran tertentu secara holistik.
Kelemahan yang selama ini terjadi pada konteks pendidikan terkait dengan pendidikan multikultur adalah bahwa guru dalam membelajarkan materi IPS, PKn, dan Agama masih menekankan pada upaya pencekokan materi disiplin keilmuannya, dengan mengabaikan dimensi multikultur yang sebenarnya jauh lebih penting bagi pembangunan integritas kebangsaan. Bangsa yang multikultur seperti Indonesia, memerlukan ”strategi dan model” pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam beberapa mata pelajaran/disiplin ilmu, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Melalui pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam mata pelajaran, disinyalir dapat meningkatkan pemahaman dan pelatihan keterampilan hidup dalam keberagaman kepada peserta didik, sehingga pada saatnya nanti mereka mampu melakoni kehidupan bermasyarakat yang multikultur dalam wadah negara kesatuan.
Pendidikan multikultur merupakan domain esensial yang harus diterjadikan dalam konteks pendidikan Indonesia (Hidayat, 2001). Jika selama ini pembekalan multikultur hanya sebatas sentuhan instruksional yang bersifat normatif, sehingga siswa baru mengenal ”unsur permukaan dari multikultur bangsanya”, maka kedepan diperlukan model pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam satuan mata pelajaran/bidang studi formal yang dibelajarkan di sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Pentingnya pendidikan multikultur ini semakin diperkuat oleh derasnya tantangan globalisasi sebagai dampak dari kemajuan IPTEKS, yang merupakan ancaman tersendiri bagi keutuhan bangsa dengan karakteristik pluralis.
Terkait dengan hal di atas, bila kita merefleksi dan memprediksi tantangan kehidupan global dan pentingnya menjaga stabilitas serta integritas bangsa, maka ada sejumlah strategi pendidikan yang harus dikembangkan seperti: peningkatan pendidikan moral dan budi pekerti, penanaman pemahaman dan kesadaran (literasi) terhadap keberagaman kultur kebangsaan, perbaikan kualitas proses dan produk pembelajaran, penyiapan perangkat instruksional yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, dan hal-hal lain yang bersifat mikro seperti pengembangan model dan strategi pembelajaran yang visibel bagi pembelajara multikultur. Pengembangan model pendidikan multikultur harus diorientasikan pada: (1) penanaman pemahaman dan kesadaran akan keberagaman dalam kesatuan, (2) pengintegrasian domain multikultur secara holistik kedalam beberapa mata pelajaran, (3) pengembangan konsep dan generalisasi pokok pendidikan multikultur, (4) model pengorganisasian materi pendidikan multikultur, dan (5) pengembangan model penilaian kompetensi multikultur.
Model pendidikan multikultur harus bertitiktolak dari kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sebagai warga negara, yaitu memiliki dan menguasai: (1) pengetahuan dan pemahaman terhadap keberagaman, (2) sikap dan keterampilan hidup dalam keberagaman, (3) sikap dan keterampilan bertoleransi, berdemokrasi, dan berempati terhadap sesama, (4) ketertanggapan dan tanggungjawab sosial, dan (5) keterampilan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi konteks keberagaman dalam kehidupan riil di masyarakat. Untuk bisa melaksanakan hal di atas, maka guru sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum dituntut untuk mampu: (1) mengintegrasikan materi multikultur kedalam mata pelajaran/bidang studinya secara holistik, (2) memilih dan mengembangkan model pendidikan multikultur yang visibel bagi siswa, (3) mengembangkan model penilaian multikultur yang sesuai dengan tuntutan kurikulum formal, dan (4) melaksanakan tindak lanjut dari pendidikan multikultur yang telah dilaksanakan bagi ketuntasan pencapaian hasil belajar siswa.
Pencapaian kondisi ideal sebagaimana paparan di atas ternyata masih jauh dari realitas di lapangan. Indikator dari hal itu dapat dilihat dari beberapa temuan penelitian sebelumnya. Lasmawan (2004) dalam penelitiannya terhadap kemampuan guru PKn merancang pembelajaran yang berorientasi pada masalah-masalah kontekstual, ternyata 87.2 % rancangan pembelajaran guru mengarah pada uraian materi pokok mata pelajaran, dan hanya 12.8 % yang mengakomodasi masalah-masalah aktual di masyarakat. Hal ini berarti guru belum memasukkan domain multikultur secara proporsional dalam rancangan pembelajarannya. Sementara model pembelajaran masih terpaku pada model indoktrinasi dengan variasi diskusi, sehingga sangat sedikit membuka peluang bagi siswa untuk mengakses informasi lebih terkait dengan materi yang dibelajarkan, termasuk informasi tentang keberagaman sosial dan budaya di masyarakatnya. Sementara Bunyamin (2004) dalam penelitiannya tentang pengembangan model pengorganisasian materi multikultur dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (SD) pada beberapa SD di Jawa Barat menemukan bahwa: hanya 15 % domain multikultur yang terakomodasi dalam desain pembelajaran guru, sedangkan 67 % adalah materi yang tercandra pada kurikulum formal, dan 18 % tentang masalah-masalah sosial-budaya aktual di masyarakat. Penilaian yang dilakukan oleh guru masih sebatas menilai tingkat pemahaman materi siswa semata, dengan mengabaikan tingkat pencapaian dan pelatihan keterampilan sosial siswa. Hasil analisis materi IPS yang dilakukan oleh Kertih, dkk. (2005) terhadap Kurikulum 2004 menunjukkan bahwa: 70 % berisi pengetahuan sosial tentang konsep pokok geografi dan ekonomi, 25 % berisikan pengetahuan tentang sejarah, dan hanya 5 % yang berisikan pengetahuan tentang keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, dan budaya bangsa. Temuan penelitian ini, mengindikasikan bahwa pendidikan multikultur belum menjadi ”perhatian dan fokus” kegiatan instruksional yang dilakukan oleh guru. Implikasinya adalah mungkin saja siswa pintar tentang konsep geografi, ekonomi, dan sejarah, namun ternyata mereka belum memiliki pemahaman dan keterampilan hidup yang memadai tentang keberagaman budaya bangsa dan negaranya.

Pendekatan Sosial-Budaya dalam Pendidikan IPS

Kondisi pembelajaran IPS dewasa ini khususnya pada jenjang  sekolah dasar, menunjukkan indikasi bahwa pola pembelajaran yang dikembangkan oleh guru cenderung bersifat guru sentris sehingga peserta didik hanya menjadi obyek pembelajaran (Bunyamin, 2006). Model pembelajaran yang demikian, lebih cendrung berangkat dari asumsi dasar bahwa pembelajaran IPS hanya dimaksudkan untuk mentransfer pengetahuan atau konsep dari kepala guru ke kepala siswa. Akibatnya, mungkin guru telah merasa membelajarkan namun siswa belum belajar. Konsekuensi logis dari pola pembelajaran yang demikian pada dasarnya sudah merupakan pengingkaran terhadap tujuan dan peran kritis yang diemban oleh IPS dalam kaitannya dengan pembentukan siswa menjadi warga Negara yang sociotable (Education Journal, 2007). Kondisi ini diduga disebabkan oleh belum dimilikinya pengetahuan dan keterampilan yang memadai oleh guru dalam mengorganisasikan materi IPS, dimana hal itu merupakan hulu dan hilir dari pembelajaran IPS (McConverter, 2007).
Kemampuan dan keterampilan guru dalam mengorganisasikan materi yang tercermin dalam silabus dan rencana program pembelajaran (RPP) merupakan “kurikulum nyata” yang menjadi “dokumen dasar guru” dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) (Puskur, 2006). Jika dugaan ini benar, maka harus dicarikan solusi yang tepat dan bersifat segera, agar substansi dan esensi dari pembelajaran IPS di sekolah dasar  dapat terealisasi dengan benar dan sesuai dengan harapan, yaitu lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkualitas dan siap berkompetisi di era global dalam warna nilai-nilai social dan budaya masyarakat Indonesia yang luhur (Hasan, 2006; Lasmawan, 2008).  
Berdasarkan analisis empirik terhadap kondisi pembelajaran IPS di sekolah dasar dan kajian terhadap tujuan, esensi, dan peran kritis yang di emban oleh IPS, nampaknya persoalan tersebut memerlukan suatu alternatif pemecahan yang sangat mendesak untuk menjembatani persoalan-persoalan seputar proses pembelajaran IPS, khususnya pada jenjang sekolah dasar. Artinya, diperlukan upaya-upaya yang terprogram untuk mengubah dan memperbaiki pola pembelajaran yang selama ini dikembangkan dan dilaksanakan oleh guru berdasarkan hasil kajian secara empiris dan pragmatis tentang realita yang terjadi di lapangan. Upaya tersebut dimaksudkan agar proses pembelajaran IPS dapat mencerminkan pola interaksi belajar yang kondusif dan mendukung pengembangan potensi diri siswa secara optimal (Sukadi, 2007). Salah satu alternatif yang diduga mampu menjembatani persoalan tersebut adalah dengan melakukan inovasi pada model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian IPS berbasis social – budaya. Hal ini penting dilakukan, dengan tujuan pembelajaran yang dilakukan dan dikembangkan oleh guru dapat memfasilitasi perkembangan potensi siswa secara optimal dan mampu meningkatkan literasi social – budaya mereka terhadap berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Bertalian dengan hal tersebut, Waterworth (2007) menyatakan bahwa: pendidikan merupakan proses transformasi budaya secara terstruktur yang sekaligus berfungsi sebagai media perubahan sosial dan kebudayaan suatu masyarakat. Analisis pendidikan tidak mungkin dapat dilakukan dengan mencopot dari akar budayanya, mengingat pendidikan itu sendiri merupakan sebuah kebudayaan (Farisi, 2007). Begitu pula pengembangan pendidikan tidak mungkin berhasil tanpa hubungan kontekstual dengan latar sosial dan budayanya.
Pada kondisi massal, adakalanya analisis sosial dan budaya secara sengaja dikesampingkan (NCSS, 2007; McConverter, 2007). Diduga hal ini sebagai salah satu dampak dari pendekatan budaya dalam merekayasa pendidikan, sehingga menjadikan pendidikan lebih banyak diperlakukan sebagai hal yang bersifat instrumental, lepas dari akar dan wawasan sosial dan budaya masyarakatnya. Dewasa ini, pembaharuan pendidikan lebih banyak berkait dengan faktor akademik guru, sedangkan faktor lainnya seperti faktor sosial dan budayanya kurang mendapat perhatian. Aspek metodologis lebih banyak diperhatikan ketimbang aspek sosial dan budaya subjek didiknya. Akibatnya kualitas dan produktivitas baik proses maupun hasilnya sangat memprihatinkan, terlebih pada jenjang pendidikan sekolah dasar, yang semestinya sarat dengan muatan paedagogis dan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, sehingga mereka memiliki kesadaran terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsanya dalam melakoni kehidupan masyarakat (NCSS, 2007; Lasmawan, 2008). Perancangan dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, logikanya harus lebih mengedepankan aspek sosial dan budaya, sebagai pra-kondisi dan pembekalan awal kepada peserta didik untuk belajar menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab.
            Studi sosial dan budaya pendidikan menunjukkan bahwa fungsi utama yang diemban oleh mata pelajaran IPS di sekolah dasar menurut KTSP sebagimana yang dikemukakan oleh Hasan (2006), adalah enkulturasi dan internalisasi tata nilai dan adat istiadat masyarakat dengan tujuan supaya nilai-nilai lama yang dianggap luhur dan sekaligus menjamin kepribadian khas masyarakat itu tidak luntur dan berubah serta tetap terjaga kelanggengannya. Di sisi lain mata pelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar mengemban misi sebagai sosialisasi dan seleksi nilai, kognisi maupun motorik demi terpeliharanya integrasi sosial budaya peserta didik di tengah-tengah perkembangan dan dinamika masyarakatnya (Puskur, 2006). Akomodasi nilai-nilai sosial dan budaya dalam konteks pembelajaran IPS, bisa dilakukan dengan memasukkan aspek sosial dan budaya masyarakat, mulai dari saat perancangan program pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan pelaksanaan penilaian terhadap capaian hasil belajar siswa (Hasan, 2006; McConverter, 2007). Hal ini penting dilakukan, dengan harapan bahwa melalui nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat, lewat proses pembelajaran akan menjadi nilai-nilai yang dihayati dan diinternalisasi oleh peserta didik sebagai warga masyarakat secara individual. Preposisi di atas, sejalan dengan penekanan yang diberikan oleh Sumantri (2004) dan Lasmawan (2007) bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar harus mampu menjembatani dan memfungsionalkan segala aspek sosial dan budaya masyarakat dalam proses pembelajaran yang kondusif, sehingga peserta didik mempunyai ketahanan dan literasi terhadap masalah-masalah sosial dan budaya masyarakatnya.
            Pembelajaran IPS sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan manusia, memanusiakan manusia (Stahl, 2002), harus mampu mengkondisikan dan memediasi pengembangan potensi peserta didik secara optimal, sehingga mereka benar-benar merasakan dampak dan manfaat dari belajarnya (meaningful learning). Untuk itu, pembelajaran yang dilakukan di sekolah hendaknya tidak terlepas dari referensi sosial dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Referensi social-budaya jika digunakan dalam pengembangan pendidikan, diduga akan menghindarkan para pemikir, pengambil kebijakan, dan para pelaksana serta pelaku pendidikan dari kondisi “keterbelengguan” dan “determinisme” pemikiran pendidikan (Suwarma, 2001; Lasmawan, 2008). Kemajemukan, baik vertikal maupun horizontal merupakan phenomena sosial-budaya dan latar pendidikan bagi manusia Indonesia, oleh sebab itu, pembelajaran IPS harus mampu mengakomodasi nilai-nilai social dan budaya masyarakat setempat (local genius) dalam keseluruhan proses dan hasil belajarnya.  
Menurut Arthur (2007) dan Sumantri (2004), iklim pembelajaran dan model pengorganisasian materi ajar yang termuat dalam silabus (kurikulum operasional) hendaknya tidak hanya mengandung rekayasa “instrumentalistik”, sehingga semakin menjauhkan kodrat dan bakat peserta didik yang terlepas dari referensi sosial budaya kemasyarakatan. Sejalan dengan konsepsi tersebut, berdasarkan pengamatan dan antisipasi pendidikan pada era hightect-information dan pemberlakuan KTSP saat ini, tampaknya pembelajaran IPS harus dapat memainkan peran dan fungsinya secara tepat dan komprehensif, sehingga mampu menjauhkan peserta didik dari dampak negatif revolusi sosial-budaya gelombang ketiga (Hasan, 2006; Toffler, 1987). Untuk itu, pembelajaran IPS di sekolah dasar, yang secara umum peserta didiknya masih ada dalam usia operasional-kongkrit (Piaget, 1981), memerlukan instrumen-instrumen khusus pembentukan pribadi dan tata nilai yang nantinya menjadi they belief. Untuk mencapai hal itu, pembelajaran IPS - SD harus didukung oleh model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian yang berwawasan sosial dan budaya, sehingga memungkinkan peserta didik mencapai tingkat literasi sosial-budaya yang optimal.
Pendekatan sosial-budaya merupakan penghampiran dan pengorganisasian materi yang menghadirkan copy (potret) riil kehidupan masyarakat sehari-hari, baik dimensi sosial maupun budayanya secara komprehensif ke dalam kelas, dalam suasana yang terbuka, actual, dan factual (NCSS, 2007; McConverter, 2006). Melalui penghadiran potret riil dimensi sosial-budaya kedalam kelas, diharapkan peserta didik merasa belajar dalam realitas kehidupannya sehari-hari, sehingga tidak mengalami shoch-learning situation (Waterworth, 2007). Model pengorganisasian materi, model pembelajaran, dan perangkat penilaian berwawasan sosial-budaya merupakan sebuah “pengembangan kurikulum operasional” yang mengakomodasi nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat lokal, regional, dan nasional secara komprehensif dalam keseluruhan aspeknya (Hasan, 2007; Dantes, 2008), sehingga dalam penerapannya di dalam kelas akan mengkondisikan peserta didik untuk mencapai apa yang dikenal dengan literasi sosial-budaya sesuai dengan esensi dari pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar.
Pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian sebagai sebuah piranti utama pembelajaran dalam konteks pembelakuan kurikulum 2006, harus dirancang sendiri oleh guru dengan mempertimbangkan beberapa kaidah standar nasional pendidikan, diantaranya adalah standar kompetensi, standar isi, standar kelulusan, dan kompetensi dasar (Puskur, 2006; Depdiknas, 2007). Sementara aspek dan indikator lainnya, diserahkan sepenuhnya kepada guru, karena hanya guru yang tahu bagaimana latar social-budaya dan karakteristik peserta didiknya, termasuk kebutuhan dan tujuan program pendidikan di daerahnya masing-masing.
Jika dalam perancangan dan pelaksanaan pembelajaran IPS di sekolah dasar, guru mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, maka dapat diartikan bahwa pembelajaran yang akan dilakukannya telah gagal sejak awal. Jika hal ini dianalogikan, dapat dikatakan bahwa guru telah kalah sebelum bertanding. Hal ini bisa dipahami, karena dalam kurikulum 2006, pembelajaran IPS – SD dengan “tegas” dan “mutlak” dinyatakan bahwa pengembangan materi, model pengorganisasian materi, model pembelajaran, dan perangkat penilaian serta perangkat pengiring pembelajaran lainnya diserahkan sepenuhnya kepada guru, dan dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan latar sosial dan budaya masyarakat, kebutuhan belajar peserta didik, dan kebutuhan serta tujuan pelaksanaan program pendidikan di daerahnya masing-masing dengan tetap berorientasi pada beberapa ketentuan administrasi yang telah ditetapkan secara nasional (Depdiknas, 2006).
Berdasarkan logika dan preposisi di atas, bisa disadari betapa esensial dan urgennya pengembangan model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian IPS yang berwawasan sosial-budaya dalam rangka pemberlakuan kurikulum 2006 (KTSP) pada jenjang sekolah dasar.