Selasa, 12 Oktober 2010

MEMPERKUAT NILAI-NILAI “PENDIDIKAN”

A. Pengantar
            Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) sebagai salah satu bidang kajian yang otonom, hingga saat ini masih mengundang sejumlah diskusi yang cukup menarik di kalangan ilmuwan sosial khususnya. Sentral diskusi tidak  saja bergerak secara horizontal, namun juga vertikal. Hal ini membuktikan bahwa masalah otonomi PIPS masih perlu dipertegas lagi, sehingga tidak menimbulkan keragaman opini dan konsepsi khususnya di kalangan ilmuwan sosial.
            Sebagai disiplin yag bersifat shynthetic, maka PIPS harus mampu memerankan dirinya sebagai media pembangunan dan pembentukan peserta didik sebagai warga negara yang baik dan berkualitas. Kondisi ini semakin penting artinya, mengingat saat ini tidak ada satu bangsapun di dunia ini yang bisa melepaskan diri dari pengaruh dan nafas kemajuan global. Berkait dengan hal tersebut, maka pengkajian dan penemuan berbagai generalisasi yang melekat pada disiplin tersebut terus dilakukan oleh berbagai kalangan. Upaya ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan jati diri dari PIPS itu sendiri. Berkenaan dengan wacana di atas, maka dalam tulisan singkat ini, penulis akan membedah kaitan logis antara PIPS dengan disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu pendidikan-humaniora, kemajuan teknologi, dan konsepsi knowledge as power serta academic as power dalam tatarann kehidupan masyarakat global. Di samping itu, pembahasan juga akan dilengkapi dengan pengkajian terhadap Project 2006+ dalam hubungannya dengan memperkuat nilai-nilai pendidikan dalam PIPS.







B. Pembahasan

            1. Konsepsi Pendidikan IPS (PIPS)
            Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) mengandung dua unsur atau konsep yang saling berkait, yaitu pendidikan dan ilmu pengetahuan sosial. Untuk bisa memahami secara tuntas konsepsi PIPS, maka kita harus membedah terlebih dahulu kedua konsepsi tersebut agar ada kesamaan pandangan dan pengertian dalam pembahasan selanjutnya. Pendidikan secara harpiah mengandung dua pengertian, yaitu pendidikan sebagai suatu disiplin ilmu dan pendidikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh negara, masyarakat, keluarga, atau individu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, pendidikan mempelajari apa yang terjadi dalam upaya manusia melakukan pendidikan. Tujuan mempelajari apa yang dilakukan manusia itu merupakan usaha penemuan kebenaran yang diformulasikan dalam bentuk prinsip, generalisasi, teori, atau hukum/dalil. Semua hal tersebut digunakan oleh kalangan pakar pendidikan untuk memahami fenomena pendidikan pendidikan yang terjadi sebagai implikasi yang ditimbulkan oleh pendidikan itu sendiri.
            Pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh negara atau masyarakat-keluarga, dan individu adalah sebuah usaha sadar yang dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki dan memudahkan hidup manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, maka konsepsi pendidikan yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada pengertian yang diformulasikan dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 yaitu: usada sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Hal ini merupakan pengertian resmi pendidikan yang dianut dan digunakan oleh negara Indonesia dalam melakukan pendidikannya.
            Berdasarkan konsepsi tersebut, maka ada lima poin yang perlu mendapat perhatian, yaitu pendidikan sebagai : (1) usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik, (2) kegiatan bimbingan, (3) kegiatan pengajaran, (4) kegiatan pelatihan, dan (5) peran peserta didik. Namun perlu diingat, bahwa usaha pendidikan tidak harus mendasarkan diri pada satu konsepsi atau teori, namun hendaknya menggunakan beberapa pandangan atau teori, sehingga akan terformulasi konstruk pendidikan yang mapan dan representatif. Sementara IPS secara konseptual dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang materinya mengambil dari cabang-cabang ilmu sosial dan humaniora, sehingga batasan diantara disiplin tersebut semakin kabur, dan terintegrasi dalam format IPS itu sendiri (NCSS, 2000). Sementara ilmu-ilmu sosial sebagai sumber rujukan IPS adalah studi tentang tingkah laku manusia atau kelompok umat manusia (Martorella, 1994). Artinya, disiplin ilmu yang mengkaji perilaku umat manusia atau kelompok manusia dalam masyarakat dikatagorikan sebagai ilmu sosial. Berdasarkan beberapa konsepsi di atas, maka yang dimaksud dengan pendidikan IPS adalah pendidikan mengenai ilmu-ilmu sosial yang diarahkan pada terjadinya pemahaman yang komprehensif pada peserta didik terhadap diri dan lingkungan masyarakatnya.
            2. Pendidikan IPS, Disiplin Ilmu-ilmu Sosial, dan Kemajuan IPTEK
            PIPS sebagai synthetic dicipline memiliki kaitan logis dan kausal dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, karena secara substansial materi PIPS digali dan distrukturisasi dari materi ilmu-ilmu sosial dan humanira. Adapun disiplin ilmu sosial yang banyak kontribusinya terhadap PIPS antara lain: sejarah, geografi, ekonomi, antropologi, sosiologi, politik, hukum, dan tata negara. Sementara disiplin humaniora yang banyak berkaitan dengan PIPS adalah psikologi, bahasa, seni, dan agama. Keseluruhan disiplin tersebut, secara kontinyu memiliki peran yang sangat penting namun berbeda dalam kaitannya dengan eksistensi PIPS itu sendiri.
            Kemajuan ilmu dan teknologi (IPTEK) telah menghadirkan warna tersendiri pada esensi dan substansi PIPS sebagai disiplin keilmuan. Hal ini semakin dipertegas dengan munculnya konsep "knowledge as power" yang dikumandangkan oleh kalangan negara-negara maju untuk menjustifikasi eksistensi dan perluasan idiologinya. Kondisi ini menjadikan tumbuh dan berkembangnya budaya materiil yang berlebihan, dimana hal tersebut kadangkala tidak dilandasi oleh nilai atau etika kemanusiaan, sehingga semakin mempertajam krisis moral-akademik di kalangan ilmuwan negara-negara barat. Di sisi lain, ada upaya dari kalangan pakar pendidikan dan politisi negara-negara sedang berkembang untuk mengimbangi kondisi tersebut dengan menjustifikasi "education as a power", yang penekanannya pada terjadinya equilibrium antara kemajuan IPTEK dengan landasan moral serta keagamaan. Upaya ini melahirkan budaya imateriil di ka;langan masyarakat dunia. Kontradiksi ini menjadikan eksistensi PIPS sebagai media pengembangan dan pelatihan peserta didik sebagai warga negara yang baik semakin berat dan kompleks.
            3. Pendidikan IPS dan Pembangunan Warga Negara
            PIPS pertama kali diperkenalkan dalam kurikulum nasional 1975, sebagai salah satu mata pelajaran wajib di sekolah. Sebelumnya, memang telah dikenal beberapa mata pelajaran lain yang termasuk dalam disiplin ilmu sosial, seperti pendidikan budi pekerti dan pendidikan kewarganegaraan. Namun penggunaan istilah IPS baru muncul pada tahun 1975. Materi yang terakumulasi dalam IPS untuk jenjang SD meliputi pengetahuan sosial dan sejarah. Sementara untuk SLTP meliputi materi tentang ekonomi, sejarah, geografi. Sedangkan untuk SMU meliputi, sejarah, geografi, dan ekonomi dengan segala pengembangannya. Melalui kurikulum 1984, untuk jenjang SMU ditambah lagi dengan mata pelajaran sosiologi-antropologi.
            Pada kurikulum 1994, Pendidikan IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib di ajarkan secara formal mulai dari kelas III SD sampai kelas III SMU. Pembelajaran Pendidikan IPS dewasa ini dihadapkan pada tantangan untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu memerankan diri dalam kehidupan dunia modern. Melalui Pendidikan IPS diharapkan lahir manusia-manusia Indonesia yang mempunyai jiwa dan semangat yang tangguh dalam mendukung dan melaksanakan pembangunan nasional sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan tujuan Pendidikan IPS di tingkat pendidikan, yaitu untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang berguna bagi diri peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.       
Melalui Pendidikan IPS diharapkan mampu dikembangkan sikap, nilai, moral dan seperangkat keterampilan hidup bermasyarakat dalam rangka mempersiapkan warga negara yang baik dan mampu bermasyarakat. Memperhatikan tujuan dan esensi Pendidikan IPS, seyogyanya penyelenggaraan pembelajaran Pendidikan IPS mampu mempersiapkan, membina, dan membentuk kemampuan peserta didik yang menguasai pengetahuan, sikap, nilai, dan kecakapan dasar yang diperlukan bagi kehidupannya di masyarakat (Sumantri, 1996). Untuk menunjang tercapainya tujuan Pendidikan IPS seperti di atas, harus didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif. Iklim pembelajaran yang dikembangkan oleh guru mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan dan kegairahan belajar siswa (Azis Wahab; 1986), selanjutnya dikatakan pula, bahwa kualitas dan keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih dan menggunakan metoda pembelajaran.
            Berdasarkan analisis konseptual dan kondisi Pendidikan IPS di sekolah, ternyata masih banyak guru yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam memilih dan menggunakan berbagai metoda pembelajaran yang mampu mengembangkan iklim pembelajaran yang kondusif bagi siswa untuk belajar, dan  banyak diantara guru yang tidak memiliki kurikulum tertulis yang merupakan pedoman dasar dalam pemilihan metoda pembelajaran (Hamid Hasan; 1988). Disamping itu tidak sedikit siswa kesulitan dalam mengikuti pelajaran dikarenakan metoda pembelajaran yang dipilih dan digunakan oleh guru dirasakan kurang tepat. Dengan demikian proses belajar-mengajar akan berlangsung secara kaku, sehingga kurang mendukung pengembangan pengetahuan, sikap, moral dan keterampilan siswa.
            Pemilihan model dan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa merupakan kemampuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru (Lasmawan, 2001). Hal ini didasari oleh asumsi bahwa ketepatan guru dalam memilih model dan metoda pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan hasil belajar siswa. Karena model dan metoda pembelajaran yang digunakan oleh guru berpengaruh terhadap kualitas proses belajar mengajar yang dilakukannya.
Kondisi proses belajar mengajar di lingkungan sekolah dewasa ini masih diwarnai oleh penekanan pada aspek pengetahuan dan masih sedikit yang mengacu pada pelibatan siswa dalam proses belajar itu sendiri. Pendidikan IPS yang dilakukan oleh guru belum mampu menumbuhkan budaya belajar siswa. Hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap perolehan dan hasil belajar siswa. Melihat permasalahan tersebut, maka isu yang sering di angkat oleh mass media cetak maupun elektronik tentang rendahnya mutu pendidikan kita dewasa ini secara kualitatif di duga disebabkan karena model pembelajaran yang di anut oleh guru di dasarkan atas asumsi tersembunyi bahwa Pendidikan IPS adalah suatu pengetahuan yang bisa dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.
            Atas dasar asumsi di atas, mungkin guru sudah merasa mengajar dengan baik, tetapi siswanya tidak belajar, sehingga terjadi miskonseptual antara pemahaman guru dalam mengajar dengan target dan misi dari Pendidikan IPS sebagai mata pelajaran yang mengacu pada pembekalan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa sebagai bekal dalam menjalani kehidupan bermasyarakat (Sumantri; 1996). Kondisi ini di dukung oleh kenyataan yang ada di lapangan bahwa aspek metodologis dan pendekatan ekspositorik sangat menguasai seluruh proses belajar mengajar (Sumantri, 1996). Berkaitan dengan hal tersebut, Suwarma (1991), menyatakan bahwa Pendidikan IPS belum mampu menumbuhkan iklim yang menantang siswa untuk belajar dan tidak mendukung produktivitas serta pengembangan berpikir peserta didik.           
4. Hubungan PIPS dengan Project 2061+ (Integrated Knowledge System)
            Rasional dari Project 2061 yang pertama kalinya disponsori oleh National Council of the Social Studies, adalah bahwa dinamisasi masyarakat yang begitu cepat dan didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah menghadirkan berbagai masalah sosial yang begitu kompleks dan beragam bagi kehidupan masyarakat, sehingga menggangu aktivitas dan kreativitas manusia sebagai penghuninya. Awalnya, masalah tersebut masih bisa dipecahkan atau dihampiri dengan satu disiplin keilmuan saja, namun dewasa ini, tidak ada satu disiplin ilmupun yang dapat memecahkan masalah tersebut secara mandiri, sehingga memerlukan bantuan atau menggunakan teori disiplin lainnya yang terkait. Hal ini sejalan dengan apa yang direkomendasikan oleh NCSS (2001), bahwa tidak ada satu disiplin ilmupun yang mampu menjadi “raja” dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan kerjasama yang produktif dari berbagai disiplin, sehingga penghampiran terhadap masalah tersebut menjadi lebih mudah dan terselesaikan secara lebih komprehensif.
            Tujuan dari Project 2061+ pada dasarnya adalah menjalin kolaborasi-produktif antara berbagai disiplin ilmu baik IPA maupun IPS dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai implikasi dari kemajuan IPTEK (NCSS, 2001). Di samping itu, integrated knowledge system yang menjadi inti dari project 2061+ ini juga dimaksudkan secara otomatis menguji kehandalam dan penemuan jati diri setiap disiplin keilmuan dalam aplikasinya di masyarakat, termasuk pendidikan IPS. Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan integrated knowledge system ini, yaitu secara cross-dicipline, trans-dicipline, dan antar-disiplin (NCSS, 2001). Ketiga cara tersebut memiliki prosedur dan implikasi yang sangat berbeda, namun sama dalam tujuannya yaitu ketuntasan penyelesaian masalah yang ada di masyarakat.
            Jika dikaji rasional, tujuan, dan metode dari integrated knowledge system (IKS) dalam Project 2061+ ini, maka kaitan logisnya dengan pendidikan IPS (PIPS) dalam kapasitasnya sebagai salah satu bidang kajian disiplin ilmu, maka proyek tersebut akan mewarnai esensi dan substansi dari PIPS itu sendiri. Cara penelaahan dari PIPS akan meluas, dimana tidak lagi semata-mata mengandalkan atau memformulasikan berbagai teori dari disiplin ilmu-ilmu sosial, namun juga mengaplikasikan berbagai teori atau materi dari disiplin ilmu-ilmu eksakta.
            Dilihat dari struktur ide sentral yang mendasari PIPS, maka melalui proyek ini akan terjadi perubahan yang sangat mendasar pada PIPS. Dimana proyek tersebut akan memperluas dan memperdalam konseptualisasi dan aktualisasi ide sentral yang selama ini dikembangkan dalam PIPS, khususnya berkait dengan pembentukan dan pelatihan peserta didik menjadi warga negara yang sociotable. Dilihat dari metode dan tehnik penghampiran masalahnya, melalui proyek 2061+ ini akan menyebabkan terjadinya pengayaan dan penggabungan beberapa metode atau tehnik yang selama ini telah digunakan dalam membelajarkan atau mengaplikasikan PIPS dalam konteks instruksional. Implikasi dari hal ini adalah kebermaknaan dari pembelajaran PIPS akan lebih baik, khususnya bagi peserta didik dalam kapasitasnya sebagai warga negara. Mereka akan dapat kesempatan mengembangkan dan melatihkan kemampuan dan keterampilannya secara lebih optimal melalui pengayaan metode dan tehnik sebagai impuls dari proyek 2061+ tersebut. Berdasarkan kajian dan analisis di atas, maka dapat disimpulkan hubungan Proyek 2061+ (integrated knowledge system) dengan PIPS adalah bersifat “fungsional”. Artinya proyek tersebut memberikan warna dan corak yang lebih luas terhadap PIPS, baik dalam pengembangan keilmuannya (materi) maupun dalam aplikasi instruksionalnya (pembelajaran). Disamping itu, proyek ini telah memperkaya materi dan pendekatan-metode-tehnik PIPS dalam kapasitasnya sebagai salah satu bidang kajian ilmiah dalam tataran disiplin ilmu-ilmu sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar