Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) telah menghadirkan tantangan dan sekaligus peluang baru bagi umat manusia dalam segala dimensi kehidupannya. Kondisi ini semakin diperkuat oleh semakin menggejalanya warna kehidupan global, sehingga setiap manusia dan bangsa harus selalu siap untuk melakoni kehidupan global yang tanpa batas. Globalisasi merupakan implikasi logis dari kemajuan IPTEKS. Terkait dengan hal itu, maka untuk mampu melakoni kehidupan masyarakat global, setiap masyarakat bangsa dituntut untuk selalu siap untuk berkompetisi agar bisa eksis dalam konstalasi kehidupan yang serba dinamis.
Globalisasi juga telah menghadirkan jiwa dan semangat nasionalisme baru di kalangan bangsa-bangsa dunia. Revolusi informasi dan komunikasi sebagai dampak langsung dari kemajuan IPTEKS telah menghilangkan batasan-batasan regon dan kewilayahan, sehingga bagi masyarakat tertentu, kondisi ini harus disikapi dengan cepat dan komprehensif sehingga mereka tidak kehilangan jati diri bangsa dan negaranya (Schement, 2002; Jannes, 2001). Bagi bangsa Indonesia, kondisi tersebut tentu merupakan realitas yang harus disikapi secara seksama dan sesegera mungkin, mengingat karakteristik geografis dan sosial-budaya yang sangat beragam. Tanpa pengaruh globalisasipun, bangsa Indonesia telah sering mengalami “perbedaan pemahaman” akan pluralitas yang ada, sehingga mengancam eksistensi negara kesatuan (Schement, 2002). Keberagaman suku, agama, etnis, dan bahasa telah menjadi warna abadi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap keragaman oleh setiap masyarakat merupakan sebuah kewajiban.
Keberagaman budaya, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dapat menjadi modal dasar dalam membangun jiwa nasionalisme dan patriotisme sebagai bangsa yang besar dan kokoh. Namun bila pemahaman terhadap keragaman tersebut hanya bersifat normalis, maka kondisi tersebut akan menjadi pemicu timbulnya konflik, yang akhirnya akan memecahbelah kesatuan dan persatuan bangsa. Salah satu konsep yang dapat diterapkan oleh negara multikultur seperti Indonesia adalah multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan institusionalisasi dan keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu di dalam suatu nation state (bahasa, bidang-bidang atau sistem hukum, kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan dan perumahan, pendidikan, dan bidang lainnya (Tilaar, 2004:84). Multikulturalisme merupakan paham yang mengakui perbedaan dan keberagaman dalam suatu bingkai kebersamaan dan kesederajatan. Demokrasi merupakan salah satu komponen yang menjamin bangunan multikulturalisme.
Dalam multikulturalisme sebuah masyarakat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dimana coraknya seperti sebuah mosaik (Suparlan, 2002:2). Di dalam mosaik tercakup juga kebudayaan dan masyarakat-masyarakat yang lebih kecil, yang nantinya akan mendorong terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut. Model multikulturalisme telah banyak digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan ”kebudayaan bangsa”, sebagaimana yang terungkap dalam Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Negara multikultural seperti Indonesia harus antisipatif dan responsif terhadap fenomena heterogenitas kebudayaan dengan sikap arif dan bijak. Perbedaan yang selama ada disatu sisi telah menimbulkan dampak negatif berupa konflik yang melanda negeri ini, yang salah satunya disebabkan heterogenitas atau deferensiasi sosial dari masyarakat. Misalnya, konflik antar suku Madura dan Dayak di Sambas Kalimantan Tengah, konflik dengan isu agama di Poso dan Maluku, gerakan separatis Aceh yang salah satunya dipicu oleh pengetahuan perbedaan yang kurang adil (Fadjar, 2004). Multikulturalisme mengakui adanya perbedaan dalam masyarakat, dimana perbedaan tersebut bukan sekedar perbedaan deskriptif tetapi juga perbedaan normatif. Maksudnya, perbedaan yang ada bukan sekedar diketahui, tetapi harus disadari dalam kehidupan yang egaliter dan demokratis. Tanpa kesadaran terhadap multikulturalisme, niscaya nasionalisme yang selama ini dibangun, akan tercabik-cabik oleh konflik dan gerakan separatisme.
Salah satu media yang bermakna bagi pengembangan kesadaran akan multikulturalisme adalah pendidika IPS. Pendidikan IPS merupakan sarana efektif untuk menanamkan kesadaran multikultural, karena salah satu misi pendidikan IPS pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah: membekali peserta didik dengan seperangkat pengetahuan, sikap, nilai, dan moral serta keterampilan hidup yang berguna dalam memahami diri dan lingkungan bangsa serta negaranya (Hasan, 2005). Lingkungan yang dimaksud dalam konteks ini salah satunya adalah keberagaman suku, agama, ras, etnis, dan bahasa yang ada di negara Indonesia. Pendidikan yang selama ini ditanamkan dalam kurikulum pendidikan dasar hingga perguruan tinggi telah menjelaskan konsep keberagaman tersebut. Namun, implementasi pendidikan IPS selama ini belum optimal dalam menekankan pendidikan tentang keberagaman yang bersifat normatif.
Pengalaman Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman orde baru, pengajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) pada pendidikan dasar dan menengah, mata kuliah Kewiraan yang sarat dengan indoktrinasi di perguruan tinggi pada dasarnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan nasionalisme, kesadaran persatuan dan integritas kebangsaan. Namun faktanya, pemahaman terhadap multikultur kebangsaan oleh masyarakat belum berhasil mencapai sentuhan kesadaran yang utuh, terbukti masih adanya gerakan anti multikultural, seperti gerakan sparatis dan konflik yang berbau sara.
Keberadaan mata pelajaran PKn juga belum cukup untuk menanamkan kesadaran multikulturalisme. Bahkan, pendidikan IPS yang selama ini ditanamkan pada anak didik masih banyak mengandung unsur yang menghambat kesadaran multikultural. Hal ini seperti yang disampaikan Asyar’i (Kompas, 3 September 2004) bahwa: pada sisi yang lain, kita pun merasakan bahwa pendidikan IPS yang diberikan di sekolah pada umumnya tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung kontraproduktif. Kondisi ini sama gejalanya dengan pendidikan agama, bahwa konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik”. Sementara Tilaar (2004:107) menyatakan bahwa banyak konflik antar suku dan etnis yang terjadi di beberapa daerah distimuli oleh belum mapannya pemahaman masyarakat terhadap multikulturalis kebangsaan, sehingga upaya penanaman dan internalisasi keberagaman kultur bagi masyarakat merupakan sebuah keharusan agar bangsa ini tetap kokoh berdiri.
Penyikapan terhadap multikulturalisme memerlukan jiwa dan sikap yang hati-hati dan toleransi tinggi, sebab multikulturalisme dapat berkembang negatif ke arah hiper-multikulturalisme dan cauvinisme seperti menganggap budaya sendiri yang paling baik, pertentangan antara budaya barat dengan timur, upaya mencari-cari nilai asli atau ”indegenous culture” seperti misalnya penguasa orde baru yang banyak menggunakan bahasa Kawi dalam memberikan nama-nama gedung DPR yang sulit dimengerti oleh orang biasa. Contoh, hiper-multikulturaslisme yang lain adalah munculnya anggapan bahwa hanya penduduk asli yang dapat berbicara mengenai budayanya sendiri (Tilaar, 2004). Kondisi ini akan menjadi pemicu ”runtuhnya jiwa dan semangat kebangsaan”, yang mengancam stabilitas dan integritas nasional. Untuk itu, diperlukan upaya yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kesadaran (literasi) akan multikulturalisme, khususnya melalui jalur pendidikan. Selama ini, pendidikan akan keberagaman baru dijadikan sebagai salah satu bagian materi pada sub pokok bahasan di beberapa mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti pada mata pelajaran IPS, Agama, dan PKn. Belum ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan multikulturalisme, maka kedepan diperlukan sebuah model pendidikan multikultur yang terintegrasi pada mata pelajaran tertentu secara holistik.
Kelemahan yang selama ini terjadi pada konteks pendidikan terkait dengan pendidikan multikultur adalah bahwa guru dalam membelajarkan materi IPS, PKn, dan Agama masih menekankan pada upaya pencekokan materi disiplin keilmuannya, dengan mengabaikan dimensi multikultur yang sebenarnya jauh lebih penting bagi pembangunan integritas kebangsaan. Bangsa yang multikultur seperti Indonesia, memerlukan ”strategi dan model” pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam beberapa mata pelajaran/disiplin ilmu, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Melalui pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam mata pelajaran, disinyalir dapat meningkatkan pemahaman dan pelatihan keterampilan hidup dalam keberagaman kepada peserta didik, sehingga pada saatnya nanti mereka mampu melakoni kehidupan bermasyarakat yang multikultur dalam wadah negara kesatuan.
Pendidikan multikultur merupakan domain esensial yang harus diterjadikan dalam konteks pendidikan Indonesia (Hidayat, 2001). Jika selama ini pembekalan multikultur hanya sebatas sentuhan instruksional yang bersifat normatif, sehingga siswa baru mengenal ”unsur permukaan dari multikultur bangsanya”, maka kedepan diperlukan model pendidikan multikultur yang terintegrasi secara holistik dalam satuan mata pelajaran/bidang studi formal yang dibelajarkan di sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Pentingnya pendidikan multikultur ini semakin diperkuat oleh derasnya tantangan globalisasi sebagai dampak dari kemajuan IPTEKS, yang merupakan ancaman tersendiri bagi keutuhan bangsa dengan karakteristik pluralis.
Terkait dengan hal di atas, bila kita merefleksi dan memprediksi tantangan kehidupan global dan pentingnya menjaga stabilitas serta integritas bangsa, maka ada sejumlah strategi pendidikan yang harus dikembangkan seperti: peningkatan pendidikan moral dan budi pekerti, penanaman pemahaman dan kesadaran (literasi) terhadap keberagaman kultur kebangsaan, perbaikan kualitas proses dan produk pembelajaran, penyiapan perangkat instruksional yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, dan hal-hal lain yang bersifat mikro seperti pengembangan model dan strategi pembelajaran yang visibel bagi pembelajara multikultur. Pengembangan model pendidikan multikultur harus diorientasikan pada: (1) penanaman pemahaman dan kesadaran akan keberagaman dalam kesatuan, (2) pengintegrasian domain multikultur secara holistik kedalam beberapa mata pelajaran, (3) pengembangan konsep dan generalisasi pokok pendidikan multikultur, (4) model pengorganisasian materi pendidikan multikultur, dan (5) pengembangan model penilaian kompetensi multikultur.
Model pendidikan multikultur harus bertitiktolak dari kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sebagai warga negara, yaitu memiliki dan menguasai: (1) pengetahuan dan pemahaman terhadap keberagaman, (2) sikap dan keterampilan hidup dalam keberagaman, (3) sikap dan keterampilan bertoleransi, berdemokrasi, dan berempati terhadap sesama, (4) ketertanggapan dan tanggungjawab sosial, dan (5) keterampilan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi konteks keberagaman dalam kehidupan riil di masyarakat. Untuk bisa melaksanakan hal di atas, maka guru sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum dituntut untuk mampu: (1) mengintegrasikan materi multikultur kedalam mata pelajaran/bidang studinya secara holistik, (2) memilih dan mengembangkan model pendidikan multikultur yang visibel bagi siswa, (3) mengembangkan model penilaian multikultur yang sesuai dengan tuntutan kurikulum formal, dan (4) melaksanakan tindak lanjut dari pendidikan multikultur yang telah dilaksanakan bagi ketuntasan pencapaian hasil belajar siswa.
Pencapaian kondisi ideal sebagaimana paparan di atas ternyata masih jauh dari realitas di lapangan. Indikator dari hal itu dapat dilihat dari beberapa temuan penelitian sebelumnya. Lasmawan (2004) dalam penelitiannya terhadap kemampuan guru PKn merancang pembelajaran yang berorientasi pada masalah-masalah kontekstual, ternyata 87.2 % rancangan pembelajaran guru mengarah pada uraian materi pokok mata pelajaran, dan hanya 12.8 % yang mengakomodasi masalah-masalah aktual di masyarakat. Hal ini berarti guru belum memasukkan domain multikultur secara proporsional dalam rancangan pembelajarannya. Sementara model pembelajaran masih terpaku pada model indoktrinasi dengan variasi diskusi, sehingga sangat sedikit membuka peluang bagi siswa untuk mengakses informasi lebih terkait dengan materi yang dibelajarkan, termasuk informasi tentang keberagaman sosial dan budaya di masyarakatnya. Sementara Bunyamin (2004) dalam penelitiannya tentang pengembangan model pengorganisasian materi multikultur dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (SD) pada beberapa SD di Jawa Barat menemukan bahwa: hanya 15 % domain multikultur yang terakomodasi dalam desain pembelajaran guru, sedangkan 67 % adalah materi yang tercandra pada kurikulum formal, dan 18 % tentang masalah-masalah sosial-budaya aktual di masyarakat. Penilaian yang dilakukan oleh guru masih sebatas menilai tingkat pemahaman materi siswa semata, dengan mengabaikan tingkat pencapaian dan pelatihan keterampilan sosial siswa. Hasil analisis materi IPS yang dilakukan oleh Kertih, dkk. (2005) terhadap Kurikulum 2004 menunjukkan bahwa: 70 % berisi pengetahuan sosial tentang konsep pokok geografi dan ekonomi, 25 % berisikan pengetahuan tentang sejarah, dan hanya 5 % yang berisikan pengetahuan tentang keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, dan budaya bangsa. Temuan penelitian ini, mengindikasikan bahwa pendidikan multikultur belum menjadi ”perhatian dan fokus” kegiatan instruksional yang dilakukan oleh guru. Implikasinya adalah mungkin saja siswa pintar tentang konsep geografi, ekonomi, dan sejarah, namun ternyata mereka belum memiliki pemahaman dan keterampilan hidup yang memadai tentang keberagaman budaya bangsa dan negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar