Senin, 11 Oktober 2010

Pendekatan Sosial-Budaya dalam Pendidikan IPS

Kondisi pembelajaran IPS dewasa ini khususnya pada jenjang  sekolah dasar, menunjukkan indikasi bahwa pola pembelajaran yang dikembangkan oleh guru cenderung bersifat guru sentris sehingga peserta didik hanya menjadi obyek pembelajaran (Bunyamin, 2006). Model pembelajaran yang demikian, lebih cendrung berangkat dari asumsi dasar bahwa pembelajaran IPS hanya dimaksudkan untuk mentransfer pengetahuan atau konsep dari kepala guru ke kepala siswa. Akibatnya, mungkin guru telah merasa membelajarkan namun siswa belum belajar. Konsekuensi logis dari pola pembelajaran yang demikian pada dasarnya sudah merupakan pengingkaran terhadap tujuan dan peran kritis yang diemban oleh IPS dalam kaitannya dengan pembentukan siswa menjadi warga Negara yang sociotable (Education Journal, 2007). Kondisi ini diduga disebabkan oleh belum dimilikinya pengetahuan dan keterampilan yang memadai oleh guru dalam mengorganisasikan materi IPS, dimana hal itu merupakan hulu dan hilir dari pembelajaran IPS (McConverter, 2007).
Kemampuan dan keterampilan guru dalam mengorganisasikan materi yang tercermin dalam silabus dan rencana program pembelajaran (RPP) merupakan “kurikulum nyata” yang menjadi “dokumen dasar guru” dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) (Puskur, 2006). Jika dugaan ini benar, maka harus dicarikan solusi yang tepat dan bersifat segera, agar substansi dan esensi dari pembelajaran IPS di sekolah dasar  dapat terealisasi dengan benar dan sesuai dengan harapan, yaitu lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkualitas dan siap berkompetisi di era global dalam warna nilai-nilai social dan budaya masyarakat Indonesia yang luhur (Hasan, 2006; Lasmawan, 2008).  
Berdasarkan analisis empirik terhadap kondisi pembelajaran IPS di sekolah dasar dan kajian terhadap tujuan, esensi, dan peran kritis yang di emban oleh IPS, nampaknya persoalan tersebut memerlukan suatu alternatif pemecahan yang sangat mendesak untuk menjembatani persoalan-persoalan seputar proses pembelajaran IPS, khususnya pada jenjang sekolah dasar. Artinya, diperlukan upaya-upaya yang terprogram untuk mengubah dan memperbaiki pola pembelajaran yang selama ini dikembangkan dan dilaksanakan oleh guru berdasarkan hasil kajian secara empiris dan pragmatis tentang realita yang terjadi di lapangan. Upaya tersebut dimaksudkan agar proses pembelajaran IPS dapat mencerminkan pola interaksi belajar yang kondusif dan mendukung pengembangan potensi diri siswa secara optimal (Sukadi, 2007). Salah satu alternatif yang diduga mampu menjembatani persoalan tersebut adalah dengan melakukan inovasi pada model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian IPS berbasis social – budaya. Hal ini penting dilakukan, dengan tujuan pembelajaran yang dilakukan dan dikembangkan oleh guru dapat memfasilitasi perkembangan potensi siswa secara optimal dan mampu meningkatkan literasi social – budaya mereka terhadap berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Bertalian dengan hal tersebut, Waterworth (2007) menyatakan bahwa: pendidikan merupakan proses transformasi budaya secara terstruktur yang sekaligus berfungsi sebagai media perubahan sosial dan kebudayaan suatu masyarakat. Analisis pendidikan tidak mungkin dapat dilakukan dengan mencopot dari akar budayanya, mengingat pendidikan itu sendiri merupakan sebuah kebudayaan (Farisi, 2007). Begitu pula pengembangan pendidikan tidak mungkin berhasil tanpa hubungan kontekstual dengan latar sosial dan budayanya.
Pada kondisi massal, adakalanya analisis sosial dan budaya secara sengaja dikesampingkan (NCSS, 2007; McConverter, 2007). Diduga hal ini sebagai salah satu dampak dari pendekatan budaya dalam merekayasa pendidikan, sehingga menjadikan pendidikan lebih banyak diperlakukan sebagai hal yang bersifat instrumental, lepas dari akar dan wawasan sosial dan budaya masyarakatnya. Dewasa ini, pembaharuan pendidikan lebih banyak berkait dengan faktor akademik guru, sedangkan faktor lainnya seperti faktor sosial dan budayanya kurang mendapat perhatian. Aspek metodologis lebih banyak diperhatikan ketimbang aspek sosial dan budaya subjek didiknya. Akibatnya kualitas dan produktivitas baik proses maupun hasilnya sangat memprihatinkan, terlebih pada jenjang pendidikan sekolah dasar, yang semestinya sarat dengan muatan paedagogis dan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, sehingga mereka memiliki kesadaran terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsanya dalam melakoni kehidupan masyarakat (NCSS, 2007; Lasmawan, 2008). Perancangan dan pengembangan pendidikan di sekolah dasar, logikanya harus lebih mengedepankan aspek sosial dan budaya, sebagai pra-kondisi dan pembekalan awal kepada peserta didik untuk belajar menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab.
            Studi sosial dan budaya pendidikan menunjukkan bahwa fungsi utama yang diemban oleh mata pelajaran IPS di sekolah dasar menurut KTSP sebagimana yang dikemukakan oleh Hasan (2006), adalah enkulturasi dan internalisasi tata nilai dan adat istiadat masyarakat dengan tujuan supaya nilai-nilai lama yang dianggap luhur dan sekaligus menjamin kepribadian khas masyarakat itu tidak luntur dan berubah serta tetap terjaga kelanggengannya. Di sisi lain mata pelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar mengemban misi sebagai sosialisasi dan seleksi nilai, kognisi maupun motorik demi terpeliharanya integrasi sosial budaya peserta didik di tengah-tengah perkembangan dan dinamika masyarakatnya (Puskur, 2006). Akomodasi nilai-nilai sosial dan budaya dalam konteks pembelajaran IPS, bisa dilakukan dengan memasukkan aspek sosial dan budaya masyarakat, mulai dari saat perancangan program pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan pelaksanaan penilaian terhadap capaian hasil belajar siswa (Hasan, 2006; McConverter, 2007). Hal ini penting dilakukan, dengan harapan bahwa melalui nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat, lewat proses pembelajaran akan menjadi nilai-nilai yang dihayati dan diinternalisasi oleh peserta didik sebagai warga masyarakat secara individual. Preposisi di atas, sejalan dengan penekanan yang diberikan oleh Sumantri (2004) dan Lasmawan (2007) bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar harus mampu menjembatani dan memfungsionalkan segala aspek sosial dan budaya masyarakat dalam proses pembelajaran yang kondusif, sehingga peserta didik mempunyai ketahanan dan literasi terhadap masalah-masalah sosial dan budaya masyarakatnya.
            Pembelajaran IPS sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan manusia, memanusiakan manusia (Stahl, 2002), harus mampu mengkondisikan dan memediasi pengembangan potensi peserta didik secara optimal, sehingga mereka benar-benar merasakan dampak dan manfaat dari belajarnya (meaningful learning). Untuk itu, pembelajaran yang dilakukan di sekolah hendaknya tidak terlepas dari referensi sosial dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Referensi social-budaya jika digunakan dalam pengembangan pendidikan, diduga akan menghindarkan para pemikir, pengambil kebijakan, dan para pelaksana serta pelaku pendidikan dari kondisi “keterbelengguan” dan “determinisme” pemikiran pendidikan (Suwarma, 2001; Lasmawan, 2008). Kemajemukan, baik vertikal maupun horizontal merupakan phenomena sosial-budaya dan latar pendidikan bagi manusia Indonesia, oleh sebab itu, pembelajaran IPS harus mampu mengakomodasi nilai-nilai social dan budaya masyarakat setempat (local genius) dalam keseluruhan proses dan hasil belajarnya.  
Menurut Arthur (2007) dan Sumantri (2004), iklim pembelajaran dan model pengorganisasian materi ajar yang termuat dalam silabus (kurikulum operasional) hendaknya tidak hanya mengandung rekayasa “instrumentalistik”, sehingga semakin menjauhkan kodrat dan bakat peserta didik yang terlepas dari referensi sosial budaya kemasyarakatan. Sejalan dengan konsepsi tersebut, berdasarkan pengamatan dan antisipasi pendidikan pada era hightect-information dan pemberlakuan KTSP saat ini, tampaknya pembelajaran IPS harus dapat memainkan peran dan fungsinya secara tepat dan komprehensif, sehingga mampu menjauhkan peserta didik dari dampak negatif revolusi sosial-budaya gelombang ketiga (Hasan, 2006; Toffler, 1987). Untuk itu, pembelajaran IPS di sekolah dasar, yang secara umum peserta didiknya masih ada dalam usia operasional-kongkrit (Piaget, 1981), memerlukan instrumen-instrumen khusus pembentukan pribadi dan tata nilai yang nantinya menjadi they belief. Untuk mencapai hal itu, pembelajaran IPS - SD harus didukung oleh model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian yang berwawasan sosial dan budaya, sehingga memungkinkan peserta didik mencapai tingkat literasi sosial-budaya yang optimal.
Pendekatan sosial-budaya merupakan penghampiran dan pengorganisasian materi yang menghadirkan copy (potret) riil kehidupan masyarakat sehari-hari, baik dimensi sosial maupun budayanya secara komprehensif ke dalam kelas, dalam suasana yang terbuka, actual, dan factual (NCSS, 2007; McConverter, 2006). Melalui penghadiran potret riil dimensi sosial-budaya kedalam kelas, diharapkan peserta didik merasa belajar dalam realitas kehidupannya sehari-hari, sehingga tidak mengalami shoch-learning situation (Waterworth, 2007). Model pengorganisasian materi, model pembelajaran, dan perangkat penilaian berwawasan sosial-budaya merupakan sebuah “pengembangan kurikulum operasional” yang mengakomodasi nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat lokal, regional, dan nasional secara komprehensif dalam keseluruhan aspeknya (Hasan, 2007; Dantes, 2008), sehingga dalam penerapannya di dalam kelas akan mengkondisikan peserta didik untuk mencapai apa yang dikenal dengan literasi sosial-budaya sesuai dengan esensi dari pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar.
Pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian sebagai sebuah piranti utama pembelajaran dalam konteks pembelakuan kurikulum 2006, harus dirancang sendiri oleh guru dengan mempertimbangkan beberapa kaidah standar nasional pendidikan, diantaranya adalah standar kompetensi, standar isi, standar kelulusan, dan kompetensi dasar (Puskur, 2006; Depdiknas, 2007). Sementara aspek dan indikator lainnya, diserahkan sepenuhnya kepada guru, karena hanya guru yang tahu bagaimana latar social-budaya dan karakteristik peserta didiknya, termasuk kebutuhan dan tujuan program pendidikan di daerahnya masing-masing.
Jika dalam perancangan dan pelaksanaan pembelajaran IPS di sekolah dasar, guru mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, maka dapat diartikan bahwa pembelajaran yang akan dilakukannya telah gagal sejak awal. Jika hal ini dianalogikan, dapat dikatakan bahwa guru telah kalah sebelum bertanding. Hal ini bisa dipahami, karena dalam kurikulum 2006, pembelajaran IPS – SD dengan “tegas” dan “mutlak” dinyatakan bahwa pengembangan materi, model pengorganisasian materi, model pembelajaran, dan perangkat penilaian serta perangkat pengiring pembelajaran lainnya diserahkan sepenuhnya kepada guru, dan dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan latar sosial dan budaya masyarakat, kebutuhan belajar peserta didik, dan kebutuhan serta tujuan pelaksanaan program pendidikan di daerahnya masing-masing dengan tetap berorientasi pada beberapa ketentuan administrasi yang telah ditetapkan secara nasional (Depdiknas, 2006).
Berdasarkan logika dan preposisi di atas, bisa disadari betapa esensial dan urgennya pengembangan model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian IPS yang berwawasan sosial-budaya dalam rangka pemberlakuan kurikulum 2006 (KTSP) pada jenjang sekolah dasar.

1 komentar:

  1. Casino Hotel Maryland - Promotions - jtmhub.com
    For the 논산 출장마사지 latest 청주 출장안마 promotions and offers, visit the casino hotel Maryland. All your favorite games 평택 출장샵 and tournaments include a wide selection of 김해 출장마사지 table 경산 출장안마 games.

    BalasHapus